About Me

header ads

Ulama Karbitan Hasil Reunian

Ulama Karbitan Hasil Reunian
Ulama Karbitan Hasil Reunian (Foto Istimewa)
Jiwa Santri - Harusnya kita, orang NU, berterima kasih banyak kepada Pak Sugik Nur. Berkat ceramahnya tentang makna "ulama" yang menggelitik telinga karena menggunakan logika zig-zag, kita jadi semangat untuk membuka kembali kitab-kitab lawas atau mengakses artikel-artikel akademik yang secara khusus mengulas tafsir kata "ulama".

Sebelum ke sana, saya seratus persen yakin bahwa "Nahdliyyin" seantero negeri tak kaget lagi dengan ulah Pak Sugik. Yah. Anggap saja Beliaunya sedang memainkan politik pengetahuan guna merengkuh otoritas keulamaan. Strateginya ialah melakukan konseptualisasi makna "ulama" agar ia bisa disebut "ulama". Sayang, usahanya gagal. Maksud hati ingin membuktikan kejeniusannya, namun yang tampil ke publik justru watak asli kepandirannya.

Kalaupun dipaksakan masuk dalam kategori Kiai, paling mentok Pak Sugik ini menduduki derajat "Kiai Karbitan". Yaitu figur orator yang tenar karena polesan media. Fenomena ini tidak mengada-ada. Bisa dibuktikan secara teoretik akademis.

Walaupun pada titik tertentu terdapat pengecualian, riset Najib Kailani & Sunarwoto berjudul "Televangelisme Islam dalam Lanskap Otoritas Keagamaan" yang dimuat dalam buku Ulama dan Negara Bangsa: Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia (Hasan, 2019) menegaskan bahwa media massa mempunyai andil yang signifikan terhadap pergeseran otoritas keagamaan. Sosok ulama yang dahulu disematkan kepada figur-figur kharismatik yang sanad keilmuannya diperoleh dari proses pendidikan keislaman yang ketat, kini terancam oleh model ulama baru yang "mak bedundug" datang dari latar belakang pendidikan sekuler. Entah siapa gurunya, di mana ngajinya, dan khatam kitab berapa, semuanya serba tidak jelas.

Kembali lagi ke awal mengenai takrif "ulama". Sejatinya jika kita mau sedikit repot melacak definisi "ulama" via "google cendekia", bukan barang sulit untuk mengetahui definisinya perspektif mufasir kontemporer. Berikut ini senarai makna "ulama" yang dirujuk dari skripsinya Syahfrudin Amsyah Muhammad dengan judul "MAKNA ULAMA PERSPEKTIF MUFASIR INDONESIA":
  1. Orang yang takut kepada Allah, lalu memelihara diri dari azab-Nya dengan jalan mengerjakan ketaatan (Hasbi as-Shiddiqie, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur).
  2. Hamba yang mengerti yang mempunyai rasa takut kepada Allah SWT. (Bisri Musthafa, al-Ibriz li Ma’rifati Tafsiri Al-Qur’an Al-‘Aziz).
  3. Orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang kekuasaan Allah dan rahmat-Nya (A. Hassan, Tafsir al-Furqan).
  4. Orang-orang yang berilmu, bahwa ilmu itu luas sekali dalam artian mengetahui alam juga. Bukan hanya sekedar mengetahui hukum-hukum agama secara terbatas, dan bukan hanya orang-orang yang mengaji kitab fikih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan serban besar (Hamka, Tafsir al-Azhar).
  5. Orang yang memiliki pengetahuan tentang agama, sosial, dan fenomena alam asalkan memiliki rasa takut dan kagum kepada Allah (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah).

Dari kelima pendapat mufasir Nusantara di atas, tidak ada yang menyandangkan gelar ulama kepada rumpun binatang sebagaimana interpretasi serampangan dari Pak Sugik. Jadi sudah gamblang bukan? Perbedaan antara ulama beneran dengan ulama karbitan hasil reunian.
 
Penulis:
Ahmad Syaifudin (Dosen UNISNU Jepara)

Posting Komentar

0 Komentar