About Me

header ads

Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri

Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri
Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri

Jiwa Santri - Islam memandang perkawinan dari sudut fiqh sebagai suatu kepercayaan (amanah) yang harus dijalankan secara normatif. Amanah perkawinan yang merupakan pesan psikologis, di mana penyerahan kejiwaan dari satu pihak kepada lain pihak disertai rasa aman yang menjamin terwujudnya ketenangan. Dari seorang suami kepada istri ataupun sebaliknya, sehingga terbentuklah keserasian dalam hubungan suami istri. Kepribadian dari pasangan suami istri dibangun atas dasar mīṡāqan galīẓan (perjanjian yang kokoh), yang dijalankan berdasarkan prinsip rasa cinta kasih yang adil (Assaidi, 2011:v).

Pengertian Hak dan Kewajiban Suami Istri


1. Pengertian Hak

Kata Hak berasal dari bahasa Arab al-ḥaqqu yang secara etimologi memiliki beberapa arti. Antara lain sebagai berikut (Munawwir, 1984:282), (Al-Yassu’i, 1986:144), (Al-Barkati,t.t.:80) :

a. Nyata dan Benar

Sebagaimana dalam QS. Yunus ayat 35 :

قُلۡ هَلۡ مِن شُرَكَآئِكُم مَّن يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلۡحَقِّۚ قُلِ ٱللَّهُ يَهۡدِي لِلۡحَقِّۗ أَفَمَن يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلۡحَقِّ أَحَقُّ أَن يُتَّبَعَ أَمَّن لَّا يَهِدِّيٓ إِلَّآ أَن يُهۡدَىٰۖ فَمَا لَكُمۡ كَيۡفَ تَحۡكُمُونَ ٣٥

“Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan”.

Dalam QS Al-Waqi’ah ayat 95 :
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ حَقُّ ٱلۡيَقِينِ ٩٥
Artinya:
“Sesungguhnya (yang disebutkan ini)[1] adalah suatu keyakinan yang benar”.

b. Pasti, Tetap dan Menetapkan

Sebagaimana dalam QS Yasin ayat 7 :
لَقَدۡ حَقَّ ٱلۡقَوۡلُ عَلَىٰٓ أَكۡثَرِهِمۡ فَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٧
Artinya:
“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman”.

c. Bagian, Milik

Sebagaimana dalam QS Adz-Dzariyat ayat 19 :

وَفِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
Artinya:

“Dan pada harta-harta mereka ada hak[2] untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”
Sedangkan secara terminologi fiqih Ahsin W. Alhafidz memberikan dua pengertian berbeda terkait dengan hak selain hak kepemilikan. pertama adalah ḥaqq al-intifā’ yang artinya kewenangan memanfaatkan sesuatu yang berada dalam kekuasaan orang lain atas sebab-sebab yang disyariatkan dalam Islam dan terbatas oleh waktu dan kondisi tertentu (Alhafidz, 2013:61-62), kedua adalah ḥaqq al-irtifāq yang artinya pemanfaatan benda tidak bergerak, baik benda milik pribadi maupun milik umum (Alhafidz, 2013:62).

Sedangkan dalam istilah lain sebagaimana menurut Sudarsono (2009:154) yang dimaksud hak adalah kewenangan untuk melakukan sesuatu yang telah dibenarkan oleh undang-undang. Pengertian ini sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh R. Subekti (2005:46) hak merupakan kebebasan untuk melakukan sesuatu berdasarkan hukum.

Pengertian Kewajiban

Kewajiban secara bahasa berakar dari kata wajib, kata wajib sendiri berasal dari bahasa Arab dengan pengucapan yang sama, dari fi’il maḍi wa-ja-ba yang secara etimologi berarti sesuatu yang tetap atau lazim, atau al-wājiibah yang berarti tanggung jawab (Al-Yassu’i, 1986:887), suatu keharusan (Munawwir, 1984:1537).

Sedangkan secara terminologi fiqih wajib adalah term yang sering digunakan oleh fuqahā’ mengenai suatu hal yang ditetapkan keharusannya (untuk dilaksanakan) oleh syāri’ (pembuat hukum syari’at) berdasarkan adanya dalil tentang keharusan pelaksanaannya (Al-Barkati, t.t.:235). Adapun pengertian wajib dari segi eksekutorial berarti suatu hal yang apabila dilaksanakan maka akan mendapatkan pahala, dan apabila ditinggalkan maka akan mendapatkan siksa (As-Subuki, t.t.:13), (Ta’rifat, t.t.:235). Menurut Wahbah az-Zuhailiy (1986:1/45) wajib (dalam kitabnya beliau menyebutkan dengan kata al-ījāb) adalah khiṭāb (titah) Allah yang menunjukkan makna tuntutan pelaksanaan secara pasti sebagaimana melaksanakan shalat lima waktu, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji. (Alhafidz, 2013:235).

Pembebanan hukum wajib terhadap mahkum ‘alaih juga harus memenuhi beberapa syarat (Yahya, 1986:164-165):

a. Sanggup memahami khiṭāb-khiṭāb pembebanan. Yakni sanggup memahami naṣ-naṣ al-Qur’an dan Hadits. Karena orang yang tidak sanggup memahami khiṭāb, baik secara langsung maupun dengan perantara, niscaya hati seorang mukallaf tidak akan tergerak untuk memenuhi tuntutan syara’ dan tidak akan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Pemahaman seperti ini tidak akan tercapai jika seorang mukallaf tidak sempurna akalnya. Artinya pembebanan suatu hukum orang yang tidak sempurna akalnya, atau belum memiliki kecakapan hukum seperti anak kecil yang belum baligh tidak dibebankan suatu taklif.

b. Memiliki kemampuan menerima beban (ahliyyah). Para Uṣūliyyīn membagi kemampuan ini menjadi 2 macam:

1) Ahliyyah al-Wujūb.Yakni kepantasan seseorang untuk diberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa, baik sempurna akalnya maupun kurang dan baik sehat maupun sakit. Asas dari kepantasan ini adalah kemanusiaan, artinya selama manusia masih hidup maka kepantasan itu tetap dimilikinya, seperti kewajiban menunaikan zakat fitrah.

2) Ahliyyah al-Adā’. Yakni kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bia seorang mukallaf mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan-tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan hukum. Sebab dasar dari kepantasan ini adalah soal pertanggungjawaban dan asasnya adalah cakap bertindak (berakal).

Dalam literatur fiqh, pembahasan mengenai hak dan kewajiban suami istri masuk dalam kategori wajib berdasarkan hukum waḍ’i. Prinsipnya adalah berdasarkan ditetapkannya hukum sah dalam suatu akad. Maka apapun yang menjadi pengaruh dari akad tersebut menjadi melekat kepada pelakunya dan menjadi berakibat terhadap keberadaannya (Shilah, 2007:12). Oleh karena adanya suatu hubungan yang dijalani oleh akad yang sah (pernikahan), maka antara suami dan istri menjadi berakibat untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

Kewajiban ini dalam literatur fiqh sering dikaitkan dengan amr atau perintah. Salah satu bentuk dari amr selain fi’il amar adalah isim fi’il amar, yakni kalimah yang tidak berbentuk fi’il amar tetapi artinya sama dengan arti fi’il amar. Sebagaimana firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُكُمۡ جَمِيعٗا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ ١٠٥
Artinya

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”(QS. Al-Ma`idah:105)
Lafadh “’alaikum” dalam ayat di atas adalah isim fi’il. Memiliki kandungan arti sebagaimana fi’il amar. Sehingga menganding arti “wajib atasmu diri kamu semua” maksudnya adalah jagalah dirimu (Yahya, 1986:192).

Rasulullah SAW bersabda:

حدثنا أبو بكر ابن أبي شيبة, قال : حدثنا الحسين ابن علي, عن زائدة, عن شبيب ابن غرقدة البارقي, عن سليمان ابن عمرو ابن الأحوص, قال: حدثني أبي أنه شهد حجة الوداع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فحمد الله و أثنى عليه, و ذكر و وعظ ثم قال: استوصوا بالنساء خيرا, فإنه عوان عندكم ليس يملكون منهن شيئا غير ذلك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن فعلن فاهجروهن في المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرح, فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا. ألا إن لكم على نسائكم حق و لنسائكم عليكم حق. فحقكم عليهن أن لا يوطئن فراشكم من تكرهون, و لا يأذن في بيوتكم لمن تكرهون. ألا وحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن في كسوتهن وطعامهن. (رواه ابن ماجه في سننه ج 2 ص279)


Artinya:
“hendaklah kamu melaksanakan wasiatku untuk melakukan yang terbaik bagi kaum wanita, karena mereka itu laksana tawanan yang berada di sisimu. Kamu tidak dapat berbuat apa-apa terhadap mereka kecuali apa yang telah aku wasiatkan ini. Lain halnya jika mereka melakukan tindakan keji secara terang-terangan. Apabila mereka melakukannya, maka tindaklah mereka dengan pisah ranjang dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Tetapi apabila meeka patuh, maka janganlah mencari alasan untuk memukul mereka. Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak atas mereka dan mereka mempunyai hak atas kamu. Adapu hak kamu atas mereka adalah ,mereka tidak diperkenankan untuk membawa orang yang tidak kamu sukai menginjak tempat tidurmu dan mengizinkannya memasuki rumahmu. Ketahuilah bahwa hak mereka atasmu adalah perlakuanmu yang baik dalam memberikan sandang dan pangan” (HR Ibnu Majah).
Rasulullah menggunakan harfu jar “‘alā”. Menurut Wahbah Az-Zuhailiy dalam Uṣul Fiqh al-Islami-nya (1986:1/399) Lafaẓ ‘alā merupakan kalimah menunjukkan makna isti`lā’ atau mengandung makna tuntutan terjadinya sesuatu (menunjukkan makna ijāb dan iltizām), dari yang sifatnya lebih tinggi seperti kalimat berikut:

لفلان علي ألف درهم
Artinya:
“Kepada si Fulan, saya memiliki hutang seribu Dirham”.

Kalimat di atas menunjukkan peran Lafaẓ ‘alā memberikan penjelasan bahwa si mutakallim masih dibebankan suatu hal, berupa hutang yang wajib dibayarkan sejumlah seribu dirham kepada Fulan.

Oleh karena itu, dalam beberapa literatur fiqh terutama pada kitab-kitab klasik sering mengklasifikasikannya dengan redaksi haqqu az-zaujati ‘alā az-zauji yang berarti hak-hak istri yang menjadi tanggung jawab yang harus ditunaikan suami dan haqqu az-zauji ‘alā az-zaujati yang berarti hak-hak suami yang menjadi tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh istri.

Selain menggunakan harfu jar ‘alā dalam hadits tersebut juga terdapat harfu jar “lām” atau “li”. Syaikh Taj Ad-Din As-Subukiy (t.t.:90) berpendapat bahwa harfu jar li bermakna istiḥqāq (memberhaki atau berhak atas sesuatu yang menjadi majrūrnya).

Maka berdasarkan hadits di atas, Rasulullah SAW memberikan himbauan kepada umatnya bahwa bagi istri-istri mereka terdapat hak-hak yang menjadi kewajiban untuk ditunaikan. 

Penulis:Dliyaul Adlha (Lulusan FSH UNISNU Jepara)
STUDI KOMPARASI MENGENAI KONSEP PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI DALAM KITAB ‘UQŪD AL-LUJJAIN FĪ BAYĀNI ḤUQŪQI AZ-ZAUJAIN DAN KITAB MANBA’ AS-SA’ĀDAH.

Refrensi:
[1]Yang dimaksudkan ialah keterangan yang terdapat dalam surah al-Waqi’ah (Al-Baidhawiy, t.t.:5/184)
[2]Bagian yang sudah menjadi haknya (Al-Baidhawiy, t.t.:5/147)

Posting Komentar

0 Komentar