Pendapat Ulama’ tentang Poligami - Islam membolehkan laki-laki tertentu melakukan poligami sebagai alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.
Dalam fikih tidak ada yang memakai istilah poligami namun dengan beristri lebih Empat
Seorang lelaki haram memadu lebih dari empat orang perempuan, sebab empat itu sudah cukup, dan melebihi dari empat ini berarti mengingkari kebaikan yang disyari’atkan oleh Allah bagi kemaslahatan hidup suami istri. Alasanya ialah firman Allah:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya:
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat Zalim.(An Nisa’ : 3)
Artinya, jika kalian mengetahui kalian akan melakukan kezaliman terhadap anak-anak yatim, yang berupa tindakan ketidakadilan kalian dalam mahar mereka, atau dalam menikahi mereka, atau kalian merasa tidak nyaman menjadi wali mereka. Jika kalian juga merasa khawatir akan melakukan kezaliman terhadap perempuan secara umum, kurangilah jumlah istri kalaia, dan batasilah dalam jumlah empat orang saja. Jika kalian merasa takut kalian akan berlaku zalim terhadap istri yang melebihi dari satu, batasilah hanya pada satu istri saja.
Ketika ayat ini turun, Aisyah ditanya oleh Urwah bin Zubair, Aisyah menjawab, “Hai anak saudaraku dia adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang laki-laki.”Laki-laki tersebut tertarik dengan harta dan kecantikannya serta bermaksud untuk mengawininya. Sedangkan laki-laki tersebut tidak mampu berlaku adil terhadap anak yatim itu, terutama dalam maharnya, kemudian mereka itu dilarang untuk mengawininya, hingga mereka dapat berlaku adil pada anak-anak yatim tersebut dan dapat memberikan maskawin yang wajar. Kemudian, mereka disuruh menikahi perempuan lainya yang mereka senangi.
Pembahasan Poligami di Tafsir Al-Misbah
Menurut M. Quraish shihab dalam Tafsir Al-Misbah dalam ayat 3 surat an-nisa’ penyebutan dua, tiga atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil pada kepada anak yatim. Tapi perlu digarisbawahi bahwa ayat ini, tidak membuat peraturan tentang poligami, karna poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama, serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagai mana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Poligami dan Kondisi Sosial
Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Penulis: M. Nur Ikhsan (Lulusan FSH UNISNU Jepara)
Refrensi
- Tihami H.M.A, Sahrani Sohari
- Ibid, hal.357-358
- Sabiq sayyid, fikih Sunnah 6, (Bandung; PT Alma’arif. Cet.1, 1980), hlm. 164-165
- Prof.Dr. Wahbah Az-Zuhali, Fiqih Islam Wa Adillatuhu.9,(Jakarta; Gema Insani, 2011), hlm.160
- H.E. Syibli syarjaya, Tafsir ayat-ayat Ahkam, (Jakarta ;Rajawali pers.cet1), hlm. 170
- M.Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an 2, (Tangerang; Lentera Hati. Cet VI, 2006), hlm. 341
0 Komentar