Jiwa Santri - Hukum Islam hadir untuk memberikan kemaslahatan sebesar-besarnya bagi manusia untuk perlindungan terhadap agama (hifdz al-din), terhadap jiwa (hifdz al-nafs), terhadap akal (hifdz al-aql), terhadap harta (hifdz al-mal), terhadap keturunan (hifdz al-nasl). Dalam konteks perubahan sosial, prinsip al Dhuhuriyah Al Khamsah dianggap sebagai nilai yang sangat fundamental bagi berlangsungnya hukum Islam. Salah satu prinsip yang sangat mempengaruhi keberlangsungan dan perkembangan hukum Islam adalah prinsip maslahah. Hukum Islam secara logis harus merespon setiap perubahan sosial yang memungkinkan terwujudnya suatu tujuan kemaslahatan bagi manusia.(Amir Mualimin: 2005)
Hukum Islam sesuai dengan karakteristiknya memiliki dimensi al-maslahah yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat ummat manusia secara menyeluruh sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai khalifa yang bertugas untuk melestarikan bumi ini . Dalam hukum Islam, dasar utama dalam berhukum adalah melalui Al-Qur’an dan Sunnah. Walaupun demikian, dalam realita yang ada bahwa masalah yang dihadapi oleh manusia selalu ada dan berkembang. Oleh karena itu dalam syari’at di buka peluang untuk berijtihad demi menemukan solusi ketika terdapat masalah, dengan syarat tidak bertentangan dengan sumber utama dalam berhukum.
Sejalan dengan hal diatas, salah satu contoh perubahan sosial dan perkembangan hukum nyata dan memutuhkan respon dari pandangan hukum Islam. Ialah pengajuan Judical Review yang diajukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam Yayasan Kesehatan Perempuan. Yayasan tersebut telah memenuhi persyaratan pendirian badan hukum yayasan sesuai undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. Pembela membela hak konstitusional yang dilanggar oleh undang-undang yang bertententangan dengan konstitusi. Dalam hal ini, maslahah mursalah sebagai suatu metode berijtihad menjadi satu corong untuk melihat apakah hasil putusan MK terhadap permohonan pemohon telah sesuai dengan tujuan syarak, atau putusan tersebut setelah diuji justru tidak memenuhi ketentuan dan syarat dalam konteks adil dan kemaslahatan.
Sebagai salah satu teori metode ijtihad hukum Islam untuk menerapkan konsep maslahah mursalah, maqashid syari’ah sudah sangat kenal dalam kajian hukum Islam. Lima tujuan hukum tersebut bisa dimaknai sebagai standar minimal. Setiap mujtahid bisa saja menetapkan suatu hukum dengan menambah tujuan hukum lain apabila memang keberadaannya memungkinkan dan dengan catatan bahwa tujuan hukum tersebut tidak bertentangan dengan dalil agama. Seorang mujtahid jug bisa saja menetapkan suatu hukum walaupun belum bisa mengungkap semua dari lima tujuan hukum tersebut dan dengan catatan bahwa sebagian tujuan hukum yang berhasil diungkap tersebut memang telah cukup bagi kehidupan mukallaf (orang yang dikenai pembebanan hukum).
Dalam pembacaan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia perkawinan perempuan. Penulis menemukan implikasi dengan legalisasi (tasyri’) batas usia minimal perkawinan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana berikut:
Dengan pertimbangan dampak positif dan negatif pernikahan yang masih menggunakan 16 tahun sebagai patokan batas usia minimal nikah pada perempuan. Tujuh hakim Mahkamah Konstitusi harusnya berani memberikan keputusan mengabulkan perubahan frasa “umur 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 UU Perkawinan adalah Konstitusional jika dimaknai “umur 18 (delapan belas) tahun”. Seperti yang dilakukan Hakim Maria Farida Indrati yang memberikan Pendapat berbeda (Dissenting opinion) dari ketujuh hakim lainnya. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya batas nikah pada perempuan menjadi 18 tahun dengan pertimbangan melalui sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) yang dalam perkara a quo akan memberikan dampak pada perubahan berupa penyesuaian dalam pelaksanaan UU Perkawinan yang juga berdampak pada upaya perubahan dan transisi pernikahan sebagaimana selama ini masih berlaku dalam masyarakat. Dengan memutuskan menganti frasa 16 tahun ke 18 tahun, maka dapat menjaga hifdz al-nafs, hifdz al-aql dan hifdz al-nasl.
Keputusan 7 hakim yang tidak mengabulkan permohonan pemohon untuk menaikkan batas usia perkawinan yang hanya berlandaskan pada tidak ada jaminan jika batas usia perkawinan dinaikkan dapat mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Serta kewenangan untuk menaikkan batas usia perkawinan bisa dilakukan melalui legislative review merupakan hal yang kurang tepat berdasarkan analisa dan kajian dari aspek mashlahah mursalah seperti yang penulis sebutkan diatas. Sebab dampak yang di timbulkan dari pernikahan yang dibawah usia 16 tahun lebih banyak ke madhlaratnya daripada maslahat.
Sehingga batas usia perkawinan perlu direvisi mengingat dampak negatif yang muncul akibat pernikahan ini. Karena pernikahan dini dapat berbenturan dengan hifdz al-nafs, hifdz al-aql dan hifdz al-nasl. Sehingga penulis berpandangan, bahwa melalui legislative review, pihak terkait perlu merumuskan standar yang konstitusional sebagai pertimbangan untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan pada perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
- Perlindungan terhadap jiwa (hifdz al-nafs), Perempuan yang menikah di usia 16 tahun rentan dengan menderita kanker, bahkan berdampak pada kematian ibu. Resiko lainnya adalah potensi bayi lahir cacat karena ruang panggul perempuan yang masih muda belum cukup besar sehingga mempersulit ruang gerak bayi saat berputar untuk keluar. Kondisi semacam ini bahkan beresiko pada kematian bayi
- Perlindungan terhadap akal (hifdz al-aql), perlindungan terhadap akal, pernikahan di bawah umur juga berpotensi pada gagalnya pendidikan anak yang bersangkutan. Jika pernikahan terjadi di masa usia sekolah maka ancaman putus sekolah sangat besar
- Perlindungan terhadap harta (hifdz al-mal), Seseorang yang menikah di usia dini memang tidak akan kehilangan fungsi akalnya secara total, namun putus sekolah secara umum akan menyebabkan minimnya pengetahuan. Rendahnya pengetahuan tersebut berimplikasi pada terbatasnya akses dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang membutuhkan kesiapan, kecakapan dan pengetahuan yang memadai. Salah satunya adalah akses di bidang pekerjaan dan ekonomi. Seseorang dengan keterbatasan dalam mengakses pekerjaan akan memaksa dirinya untuk bekerja secara tidak profesional karena minimnya skill dan pengetahuan yang dimilikinya.
- Perlindungan terhadap keturunan (hifdz al-nasl), Pernikahan dini akan menjumpai masalah ketika perempuan di bawah umur harus menjalani kehamilan hingga proses melahirkan dan mendidik anak. Proses kehamilan membutuhkan kesiapan pada alat reproduksi dari ibu yang menjalaninya. Sebagaimana dijelaskan di atas, anak di bawah usia 16 tahun belum siap untuk melakukan hubungan seksual, lebih-lebih menjalani kehamilan dan melahirkan.
- Supaya terhindar dari pergaulan bebas atau tidak terjerumus ke lembah perzinahan; Pernikahan bertujuan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Pernikahan dilakukan berdasarkan cinta dan kasih sayang terhadap pasangannya agar pernikahan itu untuk melegalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan secara agama ataupun negara.
- Meringankan beban hidup salah satu pihak dari keluarga atau kedua belah pihak; artinya dengan terjadinya pernikahan usia muda, maka anak mereka hidup dan kehidupannya tidak akan terlantar karena dengan pernikahan tersebut beban keluarga akan sedikit berkurang, sebab bisa jadi anak perempuan merupakan tanggung jawab pihak laki-laki.
- Belajar bertanggung jawab terhadap keluarga; Suatu pernikahan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, dalam kehidupannya suami-istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar pernikahan tersebut dapat dipertahankan. (Akhiruddin: 2016: 206).
Dengan pertimbangan dampak positif dan negatif pernikahan yang masih menggunakan 16 tahun sebagai patokan batas usia minimal nikah pada perempuan. Tujuh hakim Mahkamah Konstitusi harusnya berani memberikan keputusan mengabulkan perubahan frasa “umur 16 (enam belas) tahun” dalam Pasal 7 UU Perkawinan adalah Konstitusional jika dimaknai “umur 18 (delapan belas) tahun”. Seperti yang dilakukan Hakim Maria Farida Indrati yang memberikan Pendapat berbeda (Dissenting opinion) dari ketujuh hakim lainnya. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya batas nikah pada perempuan menjadi 18 tahun dengan pertimbangan melalui sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) yang dalam perkara a quo akan memberikan dampak pada perubahan berupa penyesuaian dalam pelaksanaan UU Perkawinan yang juga berdampak pada upaya perubahan dan transisi pernikahan sebagaimana selama ini masih berlaku dalam masyarakat. Dengan memutuskan menganti frasa 16 tahun ke 18 tahun, maka dapat menjaga hifdz al-nafs, hifdz al-aql dan hifdz al-nasl.
Keputusan 7 hakim yang tidak mengabulkan permohonan pemohon untuk menaikkan batas usia perkawinan yang hanya berlandaskan pada tidak ada jaminan jika batas usia perkawinan dinaikkan dapat mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Serta kewenangan untuk menaikkan batas usia perkawinan bisa dilakukan melalui legislative review merupakan hal yang kurang tepat berdasarkan analisa dan kajian dari aspek mashlahah mursalah seperti yang penulis sebutkan diatas. Sebab dampak yang di timbulkan dari pernikahan yang dibawah usia 16 tahun lebih banyak ke madhlaratnya daripada maslahat.
Sehingga batas usia perkawinan perlu direvisi mengingat dampak negatif yang muncul akibat pernikahan ini. Karena pernikahan dini dapat berbenturan dengan hifdz al-nafs, hifdz al-aql dan hifdz al-nasl. Sehingga penulis berpandangan, bahwa melalui legislative review, pihak terkait perlu merumuskan standar yang konstitusional sebagai pertimbangan untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan pada perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Cuplikan Skripsi Berjudul: ANALISA PUTUSAN MK NOMOR 30-74/PUU-XII/2014 TENTANG BATAS USIA MINIMAL PERKAWINAN PEREMPUAN DITINJAU DARI MASLAHAH MURSALAH (Karya Muwasaun Niam)
0 Komentar